Friday 4 December 2015

Perjalanan ke Timur II



   
ambil di google

     Saya diberi kesempatan kedua untuk melakukan perjalanan ke timur pada November tahun 2014. Seperti alasan tahun kemarin, masih dengan tujuan yang sama dan tentu saya sendirian ke timur. Kali ini saya pilih Jombang. Tak ada pikiran apapun saat saya memesan tiket kereta ke sana. Jombang? Identik dengan Ryan Jombang atau Gusdur? Itu pun hanya sekilas lewat dan saya fokus pada tujuan.

     Mutiara Selatan masih tetap menjadi kereta idola saya menuju ke Jombang. Berangkat dari Bandung jam setengah lima sore dan berharap menemukan teman sebangku yang bisa diajak bercengkrama. Seseuai harapan saya bertemu dengan seseorang akan saya ceritakan di tulisan berikutnya. Di sela-sela percakapan dengan beliau, saya memikirkan suatu hal yang serius sambil berlegi. Berelegi dengan kaca. Menatap kelamnya malam sambil menyantap bekal nasi dari kontrakan.

      Subuh saya menginjakkan kaki di ranah Jombang dan mendapat pengalaman pertama kali tidur di mushola stasiun. Sedang khusyuk-nya tidur terdengar suara laki-laki, tegas tapi tidak galak.
"Mbak, gak boleh tidur di sini ya!"
"Oh, nggih Mas" jawab saya sambil muka ngantuk dan nyawa masih terkumpul setengah.

      Kalian gak nanya di mana saya mandi? Tentu saja di toilet Stasiun Jombang, laaaaah. Walaupun stasiun kecil, toiletnya bersih loh. Saya nyaman mandi di sana, alhmadulillah belum banyak orang jadi ya santai saja.

        Ini perjalanan saya yang murni sendirian, tidak ada yang menemani dan tidak ada yang menampung untuk istirahat. Otomatis saya perlu transportasi yang memadai dan sesuai kantong. Go-jek belum tercipta & tidak ada di Jombang. Sehingga saya memutuskan naik ojek lokal. Berbekal keberanian & doa dari orangtua, saya memilih bapak-bapak yang berada di depan stasiun. Setelah berbincang panjang lebar, sampailah saya di tempat tujuan & memutuskan untuk meminta tolong si bapak untuk menjemput saya lagi setelah urusan saya selesai.

         Pukul 15.00 WIB, saya menunggu jemputan si Bapak untuk kembali ke stasiun. Berbaik hati, beliau mengantarkan saya keliling di pusat kota Jombang. Enaknya, pusat pemerintahan, rumah sakit, perbankan, sekolah, pusat pertokoan berada di satu komplek. Jadi tidak perlu berjalan jauh. Saya langsung pergi ke pusat oleh-oleh untuk membawakan jajan untuk teman kantor & kontrakan. Sempat bingung makanan khas dari Jombang, akhirnya memilih brem & pia. Setelah puas keliling pusat kota saya kembali ke stasiun menunggu jadwal kereta jam 20.00 WIB. Sempat ditawari untuk mampir ke rumah Pak Yudi. Tentu saja saya menolak dengan halus. Tanpa berburuk sangka tetapi saya memang tidak mau merepotkan dan pesan ibu "jangan main ke rumah orang yang tidak dikenal".

       Sampai sekarang beliau masih suka sms saya sekadar menanyakan "Apa kabar mbak, saya sekarang kerja di bala bla bla, semoga mbak sehat selalu dan dipertemukan dengan jodohnya". Lucu banget kan bapak ini? Hehehe. Insya Alloh kalau ke Jombang saya mau dianterin keliling kota sama beliau.

 Masih ada waktu 3 jam menuju keberangkatan, saya memanfaat kan waktu mengelilingi alun-alun Jombang yang berada tepat di depan stasiun. Seperti alun-alun yang lain, pada sore hari penuh penjual makanan & permainan. Hidung saya membaui aroma sate! Woh langsung deh saya memesan sate satu porsi & lontong untuk dimakan di stasiun.

       Kekenyangan sate hawa ngantuk menyerang, beruntung beberapa menit kemudian saya diperbolehkan masuk peron. Sembari menunggu Mutiara Selatan menjemput saya dari Surabaya, seorang pegawai KAI mengajak saya mengobrol.
"Wah, mbak dari Bandung? Rame ya di sana? Gak kayak di sini"
"Hehehe, ya gak bisa dibandingin Pak. Bandung itu ibukota provinsi , pusat pemerintahan dan banyak sekali universitas jadi ya rame"
"Kalau di sini Mbak, beuuh coba Mbak keliling Jombang gak bakalan nemu mall. Orang sini harus pergi ke Surabaya"
"Yang bener, Pak?"
"Iya, tinggal naik kereta satu jam sampai deh, terus keliling mall beli baju"
"Oh gitu ya Pak, tapi kan enak pak, jadinya gak terlalu ramai dan macet. Bersih banget kotanya"
"Iya alhamdulillah Mbak"

      Beberapa waktu ada jeda lama karena peluit yang menandakan kereta berangkat. Pak (saya lupa namanya) mulai membuka percakapan.
"Mbak, maaf ya saya mau nanya sesuatu"
"Iya, kenapa Pak?"
"Mbak kan perempuan, bungsu lagi. Rumah di Purworejo kerja di Bandung, ini mau ke Jombang. Memangnya dibolehin sama orang tua?
"Hehehe, iya Pak. banyak yang bilang kayak gitu juga ke saya. Alhamdulillah orang tua saya setuju, Pak. Kalau mereka tidak menghendaki ya saya gak berangkat"
"Kok Mbak mau loncat ke sana ke sini. Biasanya kan perempuan lebih suka di kotanya saja"
"Mumpung masih single, Pak. Belum ada yang harus diurusin dan nungguin di rumah, ya manfaatin aja buat jalan-jalan. Hehehe" jawab saya sambil terkekeh
"Waaaah, emang suka jalan-jalan ya Mbak?"
"Suka banget, menurun dari Bapak saya"
"Gak takut pergi sendirian, Mbak?
"Takut pasti ada, Pak. Alhamdulillah ketemu orang baik terus selama ini dan dilancarkan"
"Waah, doa dari orangtua Mbak pasti manjur. Katanya kalau kita dikelilingi orang baik berarti doa orangtua kita didengar sama Alloh"
"......................" saya cuma mengangguk dan teringat ibu saya yang selalu memantau kabar saya.

Pengumuman bahwa kereta Mutiara Selatan telah datang membuat percakapan saya dengan bapak-yang-saya-lupa-namanya pun berakhir. Sebelum berpamitan beliau berpesan.
"Hati-hati ya Mbak, sehat selalu dan semoga sukses"
"Makasih banyak, Pak. Semoga Bapak sehat selalu dan kerjaan lancar"

Teman sebangku saya di kereta sudah tidur dan tidak mengajak ngobrol sampai Bandung. Pagi hari saya dibangunkan oleh sinar matahari yang mengintip dari kaca dan goyangan kereta saat berkelok. Saya berpikir mungkin sudah sampai Garut atau Nagreg, mengingat geografis kedua tempat tersebut yang membuat kereta melambat dan berkelok.
pemandangan di Garut dari kaca kereta

pemandangan dari jalan alternatif Nagreg (cmiiw)


Enaknya perjalanan pagi menggunakan kereta adalah bisa melihat pemandangan seperti di atas. Apalagi kereta menuju Bandung. Rasakan sensasi kereta melambat dan menanjak, tidak lupa saat kita bisa melihat kepala kereta atau buntu kereta. Uhui :)



Sekian perjalanan ke timur tahun kemarin. Doakan saya untuk perjalanan ke timur berikutnya!

Perempuan penyuka kereta.







Tuesday 24 November 2015

Apa yang Kamu Cari?

Apa yang kamu cari?

Aku tidak mencari apa-apa,
hanya saja ku merasa dia menghilang tanpa ku tahu sebabnya.

Aku tidak mencari apa-apa,
hanya saja tak temukan lagi tempatku di sana.

Aku tidak mencari apa-apa,
hanya saja kenangan masih melekat tapi yang dikenang sudah pergi.

Aku tidak mencari apa-apa,
hanya saja rindu masih menyeruak padahal cinta sudah lama pudar.

Aku tidak mencari tetapi secara tak sengaja dirinya hadir sekelebat saat mata beradu elegi dengan telinga.

Aku tidak mencari, aku tidak butuh mencari, aku tidak perlu lagi jawaban.
Semua sudah tidak menggantungkan tanya.

Aku hanya tidak sengaja melihat dan mendengar. 
Aku hanya tidak sengaja merasa mengenang dan terkenang.

Karena tidak ada lagi yang dicari dan dipertanyakan.



Perempuan yang sudah menemukan pencariaan dan jawaban.

Monday 2 November 2015

Rencana yang Porak Poranda.

Aku selalu percaya rencana Tuhan itu selalu baik.
Aku memilih dengan harapan bahwa itu memang restu Tuhan, membiarkan takdir Tuhan yang bekerja.
Rencana yang ku pikir matang pun akhirnya berantakan tak sesuai rencana, tetapi diganti dengan rencana yang jauh lebih indah, menikah.
Kita tahu sebelum kita memutuskan bersama, kita mempunyai sederet rencana yang kita pikirkan matang sampai akhir tahun.
Kamu dengan rencana naik gunung di bulan September & Oktober.
Pada akhirnya batal.
Aku dengan rencana melancong ke negeri tetangga.
Pada akhirnya batal.
Kamu dengan rencana menurunkan berat badan.
Semakin mendekati hari H, nafsu makanmu bertambah karena menjelajahi tempat makan denganku.
betapa egoisnya aku untuk membantuku menghabiskan makanan yang ku pesan.
Aku dengan imunisasi cervarix yang sudah memasuki suntikan kedua. Menunggu suntikan ketiga di bulan keenam dari bulan awal penyuntikan, yakni Desember 2015.
Fyi, ibu hamil tidak boleh terpapar suntikan cervarix, if you know what i mean.

Pada akhirnya, menuju satu bulan pernikahan kita, betapa banyak pertengkaran kecil yang membuat kamu gemas dengan keegoisanku dan aku yang gemas dengan ketidaksabaranmu.
Iya, waktu bersama kita masih sebentar. Masih panjang jalan yang harus kita lewati bersama.

Aku selalu berdoa kita berdua sehat dan bahagia melewatinya.
Aku selalu berharap tangan kita bergandengan tangan dan bahumu selalu ada untukku bersandar.
Aku selalu berharap pelukku masih kau rindukan untukmu pulang.
Aku selalu berharap kita merindukan 'rumah' yang sama.

Terima kasih untuk semuanya.
Terima kasih telah mewujudkan mimpiku.


Perempuan ini sayang kamu, Pacar.

Sunday 1 November 2015

Perempuan yang Pergi

Kita memang pernah bersama, tertawa bersama, mempunyai mimpi yang sama, naif di kala muda. 
Sudah saatnya aku memutuskan untuk melepaskan.
Hei, bukan berarti aku tidak bertahan dan melepaskan adalah jalan terakhir.
Aku pernah mempertahankan sepenuh hati. Ingat, aku pernah mempertahankan.
Aku pun berpikiran kamu juga mempertahankan mati-matian.
Sekarang aku balik bertanya, apa jadinya sebuah hubungan jika keduanya sudah berbeda tujuan dan menganggap paling benar ego masing-masing.
Aku tidak ingin memperuncing masalah dan menjadi musuh.
Aku anggap aku gagal dalam hubungan ini.
Ini bukan permintaan maaf, aku anggap ini salam perpisahan.
Karena banyak sekali maaf yang terucap saat kita mengadu ego masing-masing.

Terima kasih telah bersedia menemaniku dan memanggilku sayang.
Terima kasih untuk semua pelajaran berharga yang tak pernah ku dapatkan di sekolah.
Jika suatu saat kamu merindukanku atau aku merindukanku, kenanglah aku sebelum kita memutuskan berpisah.
Jika suatu saat kita bertemu di tempat yang ditentukan Tuhan, aku akan menganggapmu tetap ada. 
Entah bagaimana dengan dirimu.
Entah kamu ingin menganggapku tidak ada di kehidupanmu.

Aku pergi bukan karena aku menyerah tapi karena kamu telah kehilangan aku.

Hei, persiapkan dirimu untuk mencari sosok pengisi sisi kiri.
Aku pun seperti itu, mencari sosok untuk mengisi sisi kanan.
Sudah saatnya kamu mencari sosok yang bisa kau lindungi dengan bahumu & hangatkan dengan jaketmu. Aku pun demikian, sudah saatnya mencari sosok yang akan kubuatkan kopi di pagi hari. 



Perempuan yang pergi.

Wednesday 9 September 2015

Selamat Menempuh Perpisahan

Semua benci perpisahan dan mengagungkan pertemuan.
Padahal, setiap pertemuan diakhiri dengan perpisahan.
Berpisah menuai cerita manis sekaligus kenangan sedih.
Beberapa di antaranya menikmati indahnya kenangan kesedihan.


Aku tahu ini bukan seperti yang aku harapkan, pun dirimu.

Ku rasa kita sudah dewasa tanpa perlu bumbu pedas amarah saling menyalahkan karena perpisahan.
Ku rasa lambat laun kita akan menertawakan kejadian ini di masa datang.
Ku rasa ada syukur yang terucap dari semua perpisahan.
Ku rasa ada sosok yang berubah lebih baik dari setiap perpisahan.
Ku rasa ada hati yang menjadi lebih kuat setelah perpisahan.

Terim kasih sudah ada di hidupku selama itu.
Terima kasih banyak, Tuan.

Monday 4 May 2015

Mengejar Matahari ke Bukit Moko

Citra Mahardika a.k.a Tecit, teman sekaligus saudara saya di Bandung pernah mengikrarkan janji kita berdua bahwa kita harus dapat sunrise di Bukit Moko/Caringin Tilu. Setelah beberapa kali mengalami perombakan rencana, datanglah Tecit ke kontrakan saya kemarin sore. Minggu ini adalah seminggu sebelum lebaran 2014 dan banyak sekali sale di mana-mana. Berhubung kita calon mamak-mamak sejati yang mudah tergiur Midnight Sale, setelah Isya berangkatlah saya, Tecit, Mbak Ida, Ami (dua nama terakhir adalah teman  satu kontrakan )  ke pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Waktu  5 jam itu terasa lama jika menunggu seseorang, tetapi terasa sebentar jika mengincar Midnight Sale. Terbukti kita masih berada di pusat perbelanjaan tersebut pukul 00.00 WIB. Kita menjadi saksi hidup betapa repotnya menjadi pramuniaga di sana. Mulai dari melipat baju yang telah kita obrak-abrik, menyapu & mengepel lantai setelah kita injak-injak, yang terberat menghitung pendapatan toko selama hari ini.

Hampir saja saya tergoda untuk tidak menepati janji kita berdua untuk pergi ke Bukit Moko, Karena kaki pegal-pegal dan harus bangun jam 03.00, tetapi pada kenyataannya
Pukul 03.00 WIB
Kring….Kring….Kring
‘Ning…berisik amat!’  seru Tecit tanpa membuka mata
‘Hhhhhh..’
‘berisik tauk!’
Saya bangkit mematikan alarm dengan mata masih terasa berat. Setelah kondusif kami pun tidur lagi 
Pukul 04.00 WIB
‘Ning… sahur gak?!’ Sekarang giliran Ami yang membangunkan tidur saya
‘Hhh… gak Mi, bocooor’ jawab saya sambil melirik Tecit yang masih asyik bermimpi
Dalam hati saya gagal sudah rencana kami melihat sunrise di Bukit Moko.
Pukul 05.00 WIB
‘Teciiit, banguuuun…!’
‘Hhhhh… kok gak ngbangunin gue sih’
‘Gak usah banyak cincai, capcus euy’
‘Pipis heulaaa..’

Pukul 05.30 WIB
‘Siap mengejar matahari, teh?’ tanya saya sambil menyalakan mesin motor
‘Selalu!’ jawabnya mantap.

Memakai baju rangkap 4, sepatu & kaos kaki, sarung tangan dan penutup mulut, kami siap menembus dinginnya Bandung di waktu subuh. Beberapa hari ini Bandung sedang dingin-dinginnya, suhu terendah pernah mencapai 18◦C . Tidak heran kami bepergian seperti ini.

Bukit Moko dari Cigadung (daerah kontrakan saya) bisa ditempuh dalam waktu 15-30 menit menggunakan kendaraan roda dua. Mencapai Bukit Moko terbilang mudah, jika Anda keluar dari tol Pasteur (barat Bandung) maka lurus saja melewati  jalan layang Pasopati ikuti petunjuk arah menuju terminal Cicaheum. Sebelum mencapai terminal, Anda akan menemukan petunjuk arah Saung Udjo (tempat ini sangat terkenal). Ada perempatan Anda belok kiri dan lurus turus ke atas kira-kira 7 km. Jika Anda dari arah Cileunyi (timur Bandung), Anda berjalan ke arah barat menuju terminal Cicaheum, setelah mencapai terminal Anda akan menemui lampu merah maju sedikit ada perempatan Anda harus belok kanan. Oh ya, tidak ada angkutan umum menuju ke atas, bisa menggunakan motor atau mobil kecil yang kuat karena medan yang turun naik dan jalan sempit. Sebelum berangkat ada baiknya Anda memeriksa kendaraan Anda demi perjalanan yang menyenangkan.

Kepalang kesiangan, saya memacu motor dengan kecepatan 70-80 km/jam (ini kecepatan maksimal saya) dan menerobos saja polisi tidur biar dia bangun.  Berdoa di sepanjang jalan agar matahari terbit kesiangan karena males bangun  di hari minggu. Tecit yang di belakang saya setiap saat berseru ‘Cepet men, keburu nongol mataharinya’.  Untungnya, jalanan masih sepi sehingga saya berani ngebut. Memasuki Cimenyan, Kabupaten Bandung  jalan mulai menyempit dan nanjak, saya hanya  berani memakai gigi 1 atau 2.

Sebelum mencapai Bukit Moko, ada 2 pohon caringin (beringin) yang harus dilewati. Hati-hati jangan sampai salah menebak seperti saya. Dua kali pamer kalau pernah ke Bukit Moko, ternyata saya hanya sampai Caringin I. Karena di sana banyak warung-warung penjaja makanan dan menyediakan tempat untuk melihat pemandangan. Belum lagi, jalanan tidak menanjak lagi, saya kira udah sampai Bukit Moko eh ternyata masih ke atas lagi kira-kira 2 km. Perjalanan ke atas tidak se-ekstrim sebelumnya hanya menanjak.

Tantangan belum selesai, saya sampai di penghabisan jalan aspal dan menemui cabang,  ke kiri atas dan ke kanan bawah. Keduanya jalan setapak batu dan kalau hujan pasti becek. Anda cukup mengambil jalan ke kiri atas, saya sarankan menitipkan kendaraan di warung (ada warung di cabang tersebut). Membutuhkan tenaga untuk ke atas kira-kira 1 km dan menanjak. Fiuuuuuuh. Pagi dengan udara dingin ditambah jalan menanjak sempat membuat saya susah bernafas.
Sesampainya di atas Anda akan menemui Warung Daweung, satu-satunya warung yang ada di atas. Oh ya waktu saya sampai, kita berdua diharuskan membayar pajak tempat Rp. 10.000,00/orang, mungkin untuk kebersihan sekitar bukit. Dingin dan capek jalan nanjak terbayar sudah dengan pemandangan seperti ini :


ada Mas Bule ramah, hihihi

ini dia, Teh Citra
Tangkuban Parahu dari Bukit Moko
abaikan muka ngantuk
ala-ala traveler

editan camera360


semburat fajar mulai beranjak

terima kasih Tuhan atas penglihatan ini




Selamat Piknik!


Perempuan yang suka diajak piknik.







Thursday 30 April 2015

Aku Tulus Mendoakan Kalian, Sekarang.

Mas, apa kabar?’ satu-satunya pertanyaan basi yang keluar dari mulutku.

‘Kamu gak berubah ya, masih seperti anak kecil’ jawabnya sambil tersnyum simpul.

Padahal yang aku lakukan setiap hari untuk mengenangmu adalah membuka halaman di jejaring social.
 Melihat dari jauh, untaian kalimat yang kamu utarakan di halamanmu.
 Membuatku menjadi yakin, kamu yang aku rindukan beberapa tahun ini.
Melihatmu dari jauh, dan  kenyataan meyakinkanku bahwa aku memang tak pernah memilikimu.
Iya. Aku tak pernah memilikimu hanya sanggup melihatmu dari kejauhan seperti beberapa tahun silam.

‘Mas, kamu ke mana aja waktu aku lagi sayang-sayangnya?’

‘Mas, bisa gak kamu anggap kamu bukan sebagai adik?’

Dua pertanyaan itu yang selalu ingin aku tanyakan padamu.
Tetapi hanya aku simpan dalam hati.
Pura-pura senang dengan pilihan adalah topeng yang aku pakai saat melihatmu tersenyum bersamanya.
Menertawakan kecerobohanmu saat membuatnya marah adalah pemanis rasa cemburuku. Menyemangatimu untuk membahagiakannya adalah penawar rasa marahku.

Sebentar lagi hari bahagiamu datang dan aku hantarkan doa agar kalian berdua bahagia selalu dengan pilihan kalian.

Kali ini aku tulus.
Sungguh.

Perempuan yang sudah merelakan.