Monday 4 May 2015

Mengejar Matahari ke Bukit Moko

Citra Mahardika a.k.a Tecit, teman sekaligus saudara saya di Bandung pernah mengikrarkan janji kita berdua bahwa kita harus dapat sunrise di Bukit Moko/Caringin Tilu. Setelah beberapa kali mengalami perombakan rencana, datanglah Tecit ke kontrakan saya kemarin sore. Minggu ini adalah seminggu sebelum lebaran 2014 dan banyak sekali sale di mana-mana. Berhubung kita calon mamak-mamak sejati yang mudah tergiur Midnight Sale, setelah Isya berangkatlah saya, Tecit, Mbak Ida, Ami (dua nama terakhir adalah teman  satu kontrakan )  ke pusat perbelanjaan di Kota Bandung. Waktu  5 jam itu terasa lama jika menunggu seseorang, tetapi terasa sebentar jika mengincar Midnight Sale. Terbukti kita masih berada di pusat perbelanjaan tersebut pukul 00.00 WIB. Kita menjadi saksi hidup betapa repotnya menjadi pramuniaga di sana. Mulai dari melipat baju yang telah kita obrak-abrik, menyapu & mengepel lantai setelah kita injak-injak, yang terberat menghitung pendapatan toko selama hari ini.

Hampir saja saya tergoda untuk tidak menepati janji kita berdua untuk pergi ke Bukit Moko, Karena kaki pegal-pegal dan harus bangun jam 03.00, tetapi pada kenyataannya
Pukul 03.00 WIB
Kring….Kring….Kring
‘Ning…berisik amat!’  seru Tecit tanpa membuka mata
‘Hhhhhh..’
‘berisik tauk!’
Saya bangkit mematikan alarm dengan mata masih terasa berat. Setelah kondusif kami pun tidur lagi 
Pukul 04.00 WIB
‘Ning… sahur gak?!’ Sekarang giliran Ami yang membangunkan tidur saya
‘Hhh… gak Mi, bocooor’ jawab saya sambil melirik Tecit yang masih asyik bermimpi
Dalam hati saya gagal sudah rencana kami melihat sunrise di Bukit Moko.
Pukul 05.00 WIB
‘Teciiit, banguuuun…!’
‘Hhhhh… kok gak ngbangunin gue sih’
‘Gak usah banyak cincai, capcus euy’
‘Pipis heulaaa..’

Pukul 05.30 WIB
‘Siap mengejar matahari, teh?’ tanya saya sambil menyalakan mesin motor
‘Selalu!’ jawabnya mantap.

Memakai baju rangkap 4, sepatu & kaos kaki, sarung tangan dan penutup mulut, kami siap menembus dinginnya Bandung di waktu subuh. Beberapa hari ini Bandung sedang dingin-dinginnya, suhu terendah pernah mencapai 18◦C . Tidak heran kami bepergian seperti ini.

Bukit Moko dari Cigadung (daerah kontrakan saya) bisa ditempuh dalam waktu 15-30 menit menggunakan kendaraan roda dua. Mencapai Bukit Moko terbilang mudah, jika Anda keluar dari tol Pasteur (barat Bandung) maka lurus saja melewati  jalan layang Pasopati ikuti petunjuk arah menuju terminal Cicaheum. Sebelum mencapai terminal, Anda akan menemukan petunjuk arah Saung Udjo (tempat ini sangat terkenal). Ada perempatan Anda belok kiri dan lurus turus ke atas kira-kira 7 km. Jika Anda dari arah Cileunyi (timur Bandung), Anda berjalan ke arah barat menuju terminal Cicaheum, setelah mencapai terminal Anda akan menemui lampu merah maju sedikit ada perempatan Anda harus belok kanan. Oh ya, tidak ada angkutan umum menuju ke atas, bisa menggunakan motor atau mobil kecil yang kuat karena medan yang turun naik dan jalan sempit. Sebelum berangkat ada baiknya Anda memeriksa kendaraan Anda demi perjalanan yang menyenangkan.

Kepalang kesiangan, saya memacu motor dengan kecepatan 70-80 km/jam (ini kecepatan maksimal saya) dan menerobos saja polisi tidur biar dia bangun.  Berdoa di sepanjang jalan agar matahari terbit kesiangan karena males bangun  di hari minggu. Tecit yang di belakang saya setiap saat berseru ‘Cepet men, keburu nongol mataharinya’.  Untungnya, jalanan masih sepi sehingga saya berani ngebut. Memasuki Cimenyan, Kabupaten Bandung  jalan mulai menyempit dan nanjak, saya hanya  berani memakai gigi 1 atau 2.

Sebelum mencapai Bukit Moko, ada 2 pohon caringin (beringin) yang harus dilewati. Hati-hati jangan sampai salah menebak seperti saya. Dua kali pamer kalau pernah ke Bukit Moko, ternyata saya hanya sampai Caringin I. Karena di sana banyak warung-warung penjaja makanan dan menyediakan tempat untuk melihat pemandangan. Belum lagi, jalanan tidak menanjak lagi, saya kira udah sampai Bukit Moko eh ternyata masih ke atas lagi kira-kira 2 km. Perjalanan ke atas tidak se-ekstrim sebelumnya hanya menanjak.

Tantangan belum selesai, saya sampai di penghabisan jalan aspal dan menemui cabang,  ke kiri atas dan ke kanan bawah. Keduanya jalan setapak batu dan kalau hujan pasti becek. Anda cukup mengambil jalan ke kiri atas, saya sarankan menitipkan kendaraan di warung (ada warung di cabang tersebut). Membutuhkan tenaga untuk ke atas kira-kira 1 km dan menanjak. Fiuuuuuuh. Pagi dengan udara dingin ditambah jalan menanjak sempat membuat saya susah bernafas.
Sesampainya di atas Anda akan menemui Warung Daweung, satu-satunya warung yang ada di atas. Oh ya waktu saya sampai, kita berdua diharuskan membayar pajak tempat Rp. 10.000,00/orang, mungkin untuk kebersihan sekitar bukit. Dingin dan capek jalan nanjak terbayar sudah dengan pemandangan seperti ini :


ada Mas Bule ramah, hihihi

ini dia, Teh Citra
Tangkuban Parahu dari Bukit Moko
abaikan muka ngantuk
ala-ala traveler

editan camera360


semburat fajar mulai beranjak

terima kasih Tuhan atas penglihatan ini




Selamat Piknik!


Perempuan yang suka diajak piknik.